TEMPO.CO, Jakarta - Singapura telah lama dikenal sebagai surga belanja dan berobat. Lengkapnya layanan dan fasilitas kesehatan di rumah sakit di Negeri Singa itu membuat sejumlah orang Indonesia memilih berobat ke sana. Begitu juga pusat perbelanjaan dan gerai produk papan atas yang menawarkan harga miring.
Jika beberapa tahun lalu kondisi surga berobat dan belanja itu seiring, kini kondisinya berbalik. Gairah berbelanja di Singapura bagi para pelancong mulai surut, namun tidak begitu dengan ‘semangat’ berobat ke sana.
Baca Juga:
BEROBAT
Rumah sakit Singapura gencar melakukan promosi tentang kelebihan mereka. Sedangkan di Indonesia, promosi rumah sakit dianggap tabu dan dikhawatirkan melanggar kode etik kedokteran. Promosi yang gencar oleh rumah sakit Singapura mampu menciptakan paradigma kalau kualitas dan pelayanan kesehatan di sana lebih baik. Data Kementerian Kesehatan pada 2013 memperkirakan setiap tahunnya pasien Indonesia yang berobat ke luar negeri menghabiskan biaya Rp 100 triliun.
Temuan itu diamini oleh Chief Operating Officer Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura, Noel Yeo. Di rumah sakit yang dia kelola menjadi langganan para pasien dari sejumlah kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Surabaya, serta pasien dari Pulau Kalimantan dan Sulawesi. Setiap tahunnya, rumah sakit itu menerima sekitar 18 ribu pasien asal Indonesia. Dari jumlah itu, 25 persennya atau sekitar 4.500 pasien diantaranya menjalani rawat inap di rumah sakit.
“Rata-rata lamanya rawat inap sekitar 3 hari, tergantung kondisi pasien,” kata Noel di Jakarta, Kamis 25 Agustus 2016. Dalam tiga hari perawatan, seorang pasien bisa merogoh kocek sekitar Rp 58,2–100 juta. Mereka yang menjalani rawat inap biasanya mengidap penyakit yang berat, seperti kanker, stroke, atau harus menjalani operasi. Sedangkan yang tidak rawat inap lazimnya melakukan pengecekan kesehatan berkala, tes darah, dan ada pula yang membutuhkan satu hari saja untuk operasi.
Lantaran cukup banyak pasien asal Indonesia, Noel mulai mempelajari bahasa, budaya, dan perilaku masyarakat Indonesia. “Kami ingin terus menyampaikan perkembangan tekologi di bidang kesehatan dan menerapkannya demi memenuhi kebutuhan pasien,” ujarnya.
Salah satu teknologi kesehatan yang menjadi fokus Rumah Sakit Mount Elizabeth adalah penanganan penderita kanker. Dulu, pasien yang didiagnosa menderita kanker tulang misalnya, sudah hampir pasti diamputasi. “Tapi kemajuan teknologi di bidang medis memberikan harapan baru dalam metode penyembuhan,” kata Noel.
Dia kemudian menceritakan seorang pasien lelaki berusia 35 tahun yang divonis menderita kanker tulang paha. Pasien tersebut takut akan kehilangan kakinya dan menjadi lumpuh. Setelah berkonsultasi dengan ahli orthopaedic, pasien tersebut punya harapan yang memungkinkannya sembuh tanpa harus diamputasi. “Kami mejalankan operasi yang disebut dengan Allo-prosthetic composite reconstruction,” kata Noel. Ini adalah teknik operasi yang menggabungkan dua prosedur, yakni allograft dan prosthesis.
Allograft adalah pengambilan tulang dari donor. Biasanya diambil dari bagian dalam tubuh yang aman dari sel kanker, misalnya tulang panggul. Adapun prosthesis merupakan penanaman alat buatan yang biasanya berasal dari campuran titanium. Bahan titanium dipilih karena lebih ringan dan kuat.
Dalam menangani penderita kanker perut atau abdominal cancer, Noel mengatakan ada dua teknik pengobatannya. Pertama, dengan melakukan peritonectomy, yakni pengangkatan tumor di tempat kanker bersarang. Kemudian disusul dengan hypertermic intra-operative peritoneal chemotherapy (HIPEC) di mana obat kemoterapi akan dimasukkan ke dalam rongga perut pasien dengan suhu 42 derajat celcius selama 30-90 menit.
Metode ini, menurut Noel, dipercaya dapat menghilangkan sel-sel kanker mikro di dalam rongga perut. Keyakinan itu didasarkan pada fakta bahwa sel-sel kanker cenderung lebih mudah dimusnahkan pada suhu 41-43 derajat celcius.
Meski membeberkan teknologi penanganan kanker, Noel menyatakan lebih dari 30 persen penyakit kanker dapat dicegah dengan cara mengubah kebiasaan hidup. “Perlu kesadaran masyarakat dalam mengenali gejala dan risiko penyakit kanker,” katanya.
Lantas, bagaimana dengan gemerlap dunia belanja di Singapura?